Thursday, 12 March 2009

Ajaran Tarekat Sufi; Sesuai al-Qur'an dan Tradisi Nabi

Ajaran sufi dalam tasawuf tidak keluar dari ajaran al-Qur`an, al-Sunnah dan tradisi para

sahabat. Karena kekayaan khazanah dan tradisinya terinspirasi dan bersumber –secara
istinbâthi- langsung dari al-Qur`an baik tentang esensi kejiwaan serta moralitas sufisme
yang terejawantahkan oleh maqâmât dan ahwâl shûfiyyah sekalipun, benihnya
bersumber dari al-Qur`an. (lihat; Dr. Abu al-Wafa al-Taftazani, Madkhal ilâ al-Tashawwuf
al-Islâmi, Dar al-Tsaqafah, Cairo, cet. III, hlm. 42.)

Semisal sulûk (perilaku) dan segenap pengembaraan dzauq (rasa) dalam tangga
mujahadah dan riyadhah-pun, merujuk pada perjalanan zhahir dan batin Rasulullah.
Maka bisa dikatakan bahwa, ajaran tasawuf tiada lain adalah buah ranum yang tumbuh
dari lubuk nash al-Qur`an dan sunnah nabawiyah.

Sebagai contoh, di dalam al-Qur`an bertaburan ayat-ayat yang menganjurkan dan
memberi rangsangan pada setiap hamba untuk melakukan pendakian tangga-tangga
maqâmât; seperti mujahadat al-nafsi (Q.S. al-Ankabut: 69, dsb), ketakwaan (Q.S. al-
Hujarat: 13, dsb), zuhud (Q.S. al-Nisa`: 77, dsb), tawakkal (Q.S. al-Taubah: 51, dsb)
syukur (Q.S. Ibrahim: 7, dsb) , sabar (Q.S. al-Baqarah: 155, dsb), ridha (Q.S. al-Maidah:
119,dsb), dan mahabbah (Q.S. al-Maidah: 54, dsb). Begitu juga tersebar ayat-ayat al-
Qur`an yang mendorong setiap jiwa untuk melintasi derajat ahwâl, seperti khauf (Q.S.
al-Sajdah: 16, dsb) , raja` (Q.S. al-Ankabut: 5, dsb), dzikir (Q.S. al-Ahzab: 41, dsb) ,
berdo'a dan bermunajat kepada Allah.

Namun perlu diketahui, ‘semprongan’ wahyu al-Qur’an tersebut masih bersifat mujmal
(global), yang tentunya masih memerlukan bayân (penjelasan) dari seorang yang
disebut al-mubîn atau al-khabîr.
Rasulullah Saw., adalah al-khabîr al-awal. Segala praktek ibadah –seperti sholat, puasa,
haji dsb.- tidak akan terealisasikan dengan benar tanpa mengikuti petunjuk, ajaran,
metode dan cara-cara yang diberikan Rasul. Maka, pada masa Rasul masih hidup,
secara otomatis sunnah rasul menjadi tharîqah atau jalur tunggal menuju bahtera
khazanah Islam. Segala tafsir dan takwil ayat-ayat al-Qur`an berikut permasalahan
amaliyah dan ubudiyah umat Islam pun bisa dikonsultasikan dan ditemukan jawabannya
melalui petunjuk langsung darinya.

Dan jumhur ulama bersepakat bahwasanya belum semua ayat-ayat al-Qur`an dijelaskan
maknanya oleh Rasulullah Saw. Hal ini bukan berarti hanya mempunyai satu hikmah
untuk memberi ruang berpikir bagi umat islam atas makna ayat al-Qur`an seperti yang
didakwakan beberapa ulama pengkaji ilmu tafsir. Namun lebih dari itu hikmah yang
sebenarnya adalah karena akan terlahir sejatinya para pewaris Rasul (ulama) pada tiap
kaum, tempat dan kurun waktu tertentu. Sebagaimana para nabi dan rosul, maka
hakekat ilmunya juga bersifat wiratsah bukan diratsah, wahbi bukan kasbi, yang
dianugerahi berlimpah ilmu hikmah.

Kemudian paska wafatnya Rasul, kecakapan penafsiran, penakwilan serta istinbath
hukum tersebut diwarisi oleh orang-orang mukmin dari golongan para sahabat maupun
tabi’in. Meskipun mereka, pada waktu itu memang tidak masyhur memakai julukan sufi
ataupun mutashawwifah -dikarenakan gelar “al-Sahabah” lebih patut bagi mereka yang
hidup di zaman, di mana Islam masih di bawah bimbingan langsung “al-Musthofa” ,
Sang Maestro Sufi- namun secara maknawi dalam tataran amalannya -semisal zuhud,
sabar dan syukur- tidak menafikan bahwasanya mereka juga tergolong sufi (Baca; as-
Syeikh Abdul qodir Isa, Haqoiq an at-Tasawuf, al-Muqattam li nasyr wa at-Tauzi’, cet
keV, th 2005, hl 27)

Bahkan praktek tasawuf yang terejawantahkan oleh karateristik ritual tarekat mempunyai
benang merah dengan ritual para sahabat. Hal ini sebagaimana tersebutkan dalam
salah satu riwayat, bahwa munculnya ragam tarekat berakar dari bedanya
kecenderungan –khusus- ahwâl sahabat dalam mengikuti sunnah Rasul. Sahabat Abu
Bakar al-Shiddiq, karena lebih suka berdzikir dengan cara khalwah (menyepi), maka
darinya muncullah tharîqah khalwâtiyyah. Sementara sahabat Ali bin Abi Thalib, karena
lebih gandrung menyebut nama Allah dengan hati, maka tarekatnya disebut
Naqsyabandiyyah yang diderivasikan dari kata naqsyun (mengukir) nama Allah dalam
hati.

Kedua ruh tarekat inipun berkembang, yang kemudian sempat bersinggungan pada
masa Imam al-Junaid. Dan paska al-junaid, tarekat lantas kembali terbagi, khususunya
pada era keemasan lahirnya para al-Aqthâb al-Arba’ah (kutub-kutub sufi).. Tharîqah
Kholwatiyah lebih dijiwai oleh tarekatnya Sayyid Ahmad al-Rifa’i (512-578.H) dan Sayyid
‘Abd al-Qodir al-Jailani (w, th.561 H), sedangkan tarekatnya Sayyid Ahmad al-Badawi (w,
th 675 H) Abu al-Hasan al-Syadzili (593-656.H) dan Ibrahim al-Dasuqi (653-696. H)
bernafaskan Naqsyabandiyah. Demikian ragam tarekat tersebut terus berkembang
sepanjang zaman.

Dan perlu dipahami dan diyakini, bahwa ilmu para auliya’ tiada lain adalah cidukan dari
bahtera ilmu Rasulullah. Maka setinggi apapun kita memuliakan ilmu para wali tidak
akan pernah bisa melengserkan keagungan singgasana Baginda Rasul yang telah
tertitahkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh kosmos (Rahmatan lil ‘âlamîn). Rahmat
Rosululah tersebut sebagai rahmat îjâd, sedang rahmat yang dianugerahkan kepada
para wali sebagai Rahmat imdâd (madad dari Rosul). Maka dengan mentaati,
mengagungkan para pewaris nabi tersebut, dengan sendirinya berarti juga patuh dan
memuliakan pada “al-Qosim”, Rasulullah Saw., yang juga akan menambahkan cinta
yang dahsyat pada “al-Mu’thi”, Allah Swt. Oleh karena sangat tepat jika Rosulullah telah
berpesan kepada umatnya;
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي
"Hendaklah kamu berpegang pada sunahku (Nabi), dan sunahnya segenap al-khulafa
al-Rosyidin al-Mahdiyin setelahku.."

Leia Mais…